MENGAPA ?



MENGAPA harus presiden ARWAH ?
Permasalahan di NKRI  sudah sedemikian kompleks dan ruwet, sehingga siapapun presidennya, maka hasilnya akan sama saja. Namun berbeda bila presidennya Arwah yang telah merumuskan konsep kreatif gAMERIKA, sehingga akan ada beberapa solusi tepat seperti: 
  1.  Siapapun presidennya, nilai Rupiah akan tetap anjlok….. Rupiah bukanlah mata uang yang kuat, terbukti sejak jaman Bung Karno sampai sekaarang ini, nilai rupiah merosot tajam, harus mengalami sanering dan devaluasi. Dengan presidennya Arwah, maka kita akan punya mata uang yang nilainya kuat, yaitu dolar Amerika.
  2. Siapapun presidennya, korupsi tetap merajalela….. Pemberantasan korupsi sulit dilakukan, karena institusi penegak hukum sering tersandera secara politik, dan juga ada budaya sungkan. Dengan presidennya Arwah, maka nanti  pemberantasan korupsi akan dilakukan oleh FBI (Federal Bureau of Investigation) yang sifatnya superbody, jadi tidak akan tersandera secara politik. Apalagi FBI tidak punya budaya sungkan. 
  3. Siapapun presidennya UMR tak akan bisa lebih dari Rp. 3 juta/bulan….. Kalau presidennya Arwah, maka UMR akan menjadi Rp. 16 juta/bulan. 
  4. Siapapun presidennya, harga BBM akan terus jadi masalah: karena bila tidak dinaikkan, APBN akan habis untuk subsidi, tetapi bila dinaikkan rakyat kecil akan menjerit (karena daya beli sangat rendah)......  Kalau presidennya Arwah, masalah harga BBM bisa diselesaikan. Karena dengan UMR Rp 16 juta/bulan dan PPK Rp. 36 juta/bulan, maka harga BBM premium dinaikkan menjadi Rp. 10 ribu/liter pun tidak akan memberatkan rakyat.
  5. Siapapun presidennya, teknologi kita tak akan pernah maju. Terbukti, pengembangan teknologi penerbangan yang sudah menghabiskan trilyunan rupiah, tak membuat Indonesia menjadi negara yang hebat di bidang penerbangan..... Kalau presidennya Arwah, maka kita semua akan memiliki tidak hanya Boeing, tetapi juga NASA, Silicon Valley, dan pusat-pusat teknologi lainnya. 
  6. Siapapun presidennya, Jakarta tetap banjir dan macet….. Kalau presidennya Arwah, Jakarta dijamin tidak banjir lagi, karena ibukota negara secara otomatis pindah ke Washington DC. Dengan pindahnya ibukota, maka akan pindah pula semua kedutaan asing dan instansi terkaitnya, sehingga Jakarta tidak penuh sesak lagi dan lebih mudah untuk dikelola. Belum lagi, dengan teknologi AS kita bisa bangun MRT, Monorail, deep tunnel, semua secara mandiri, daripada sekarang beli ke negara lain dengan harga mahal. Dan pemindahan ibukota ini tidak memerlukan biaya, karena Washington DC sudah ada. Berbeda bila negara kita masih dalam bentuk NKRI dan ibukota akan dipindah, pasti sangat besar biaya untuk membangun ibukota yang baru. 
  7. Siapapun presidennya, kita akan dipanggil Indon….. Kalau presidennya Arwah, kita semua akan dipanggil Amrik, American, ataupun Yankee. 
  8. Siapapun presidennya, efisiensi APBN akan sulit dilakukan….. Apabila presidennya Arwah, maka ratusan trilyun rupiah bisa dihemat, karena ABRI, Kementrian Luar Negeri, Lembaga-lembaga nasional, akan digaji dan dibiayai oleh pemerintahan federal di Washington DC. 
  9. Siapapun presidennya, rakyat akan tetap terisolir….. Kalau presidennya Arwah, rakyat akan mudah bergaul secara global, karena semua akan bisa berbahasa Inggris (sebagai dampak bahasa resmi menggunakan bahasa Inggris).
  10. Siapapun presidennya, kita akan menjadi warga sebuah negara yang tak terkenal….. Kalau presidennya Arwah, maka kita akan dikenal sebagai warga negara superpower nomor 1 di dunia. 
  11. Siapapun presidennya, tim sepakbola kita tak bisa masuk World Cup….. Kalau presidennya Arwah, dijamin tim sepakbola kita masuk World Cup (karena tim AS memang sudah langganan masuk World Cup). Nanti pemain Indonesia yang berprestasi, seperti misalnya Irfan Bachdim atau Bambang Pamungkas bisa ditandemkan dengan Landon Donovan.
  12. Siapapun presidennya, kecepatan internet kita tak jauh dari 1,34 Mbps dan harganya mahal lagi….. Kalau presidennya Arwah, maka kecepatan internet akan meningkat 10X nya dengan harga yang lebih murah. 
  13. Siapapun presidennya, negara Indonesia akan didikte negara asing..... Kalau presidennya Arwah, negara kita yang akan mendikte negara asing.  
  14. Siapapun presidennya,bahan tambang kita akan diangkut ke luar negeri oleh perusahaan-perusahaan MNC seperti Freeport (karena bagi hasil yang tidak adil)..... Kalau presidennya Arwah, maka freeport akan menjadi milik bersama, dan memberikan bagi hasil yang adil untuk rakyat nusantara.  
  15. Siapapun presidennya, kemungkinan disintegrasi Indonesia akan besar, seperti Papua dan Aceh..... Kalau presidennya Arwah, rakyat akan kaya raya, dan tak ada keinginan untuk disintegrasi. 
  16. Siapapun presidennya, tak akan bisa meng-Islamisasi Hollywood..... kalau presidennya Arwah, maka Hollywood milik kita bersama. Sehingga akan ada artis muslim terkenal di Hollywood, sebagaimana Sakh Rukh Khan di Bollywood.   


MENGAPA harus bergabung dengan AS ?
Seperti kita ketahui dan rasakan bersama, sudah 68 tahun kita merdeka dalam wadah bernama NKRI. Namun selama masa itu, ternyata impian mencapai “masyarakat adil dan makmur” belum juga bisa diraih. Sebaliknya, kondisi memprihatinkan justru yang didapat rakyat NKRi dari kemiskinan sampai masalah harga diri.
Dengan bergabung ke dalam negara federasi AS, sebagaimana 37 wilayah lain yang sebelumnya telah bergabung (dari Republik Vermont di tahun 1791 menjadi negara bagian AS ke-14 sampai dengan yang terakhir, yaitu Republik Hawaii di tahun 1959 menjadi negara bagian ke-50), maka rakyat NKRI akan bisa sekaya dan semakmur mereka. Jumlah 37 wilayah itu bukan angka kecil, sehingga bukan merupakan "faktor kebetulan" jika mereka semua menjadi kaya raya.
Secara logika, pilihan bergabung dengan AS itu lebih bijaksana, dibanding harus memberikan waktu 68 tahun lagi kepada NKRI (yang kemungkinan besar akan lebih terpuruk lagi). Untuk lebih menambah referensi tentang manfaat bergabung dengan negara AS, maka di bawah ini merupakan cuplikan dari bab 4 buku “Robohnya NKRI Kami” karya capres Arwah. 



BAB 4
11 Alasan Mengapa Harus Bergabung Dengan AS


Proklamasi kemerdekaan NKRI yang diselenggarakan secara tergesa-gesa membuat kepemimpinan negara waktu itu kurang kuat legitimasinya (karena dipilih bukan melalui pilpres, tapi melalui rapat PPKI yang jumlah anggotanya hanya 29 orang). Dan itu berdampak dengan maraknya pemberontakan di seluruh nusantara, serta tekanan yang membuat NKRI harus menanggung hutang 4,1 milyar dolar pada Belanda.
Saya tidak menyalahkan para founding fathers yang memerdekakan NKRI dengan terburu-buru tanpa dasar demokrasi sebagai landasan legitimasi, karena hal itu ibarat “nasi sudah menjadi bubur”. Yang terpenting sekarang adalah menghentikan eksperimen sejarah yang gagal itu. Kegagalan adalah hal yang manusiawi, tapi mempertahankan kegagalan adalah kesalahan besar. Karena kata pepatah pun “hanya keledai, yang terperosok ke dalam lubang yang sama dua kali”.
Apalagi permasalahan ekonomi bukan satu-satunya kegagalan NKRI. Masalah lain, seperti harga diri, keadilan, hak azasi manusia, intelektualitas bangsa, pembohongan publik, sampai masa depan generasi muda, merupakan hal yang tidak kalah pentingnya. Semua itu semakin memicu urgensi bagi rakyat nusantara untuk segera bergabung dengan AS. Berikut ini adalah deretan alasan mengapa NKRI harus bergabung menjadi negara bagian AS.

Alasan 1
Orang Indon
Orang berkulit hitam paling benci kalau dipanggil Nigger. Kata Nigger adalah bahasa prokem yang kurang lebih berarti budak. Sehingga sebutan itu mengingatkan masa kelam orang berkulit hitam akan perbudakan dan penindasan. Kata Nigger di jaman sekarang merupakan ejekan orang kulit putih (yang rasis) yang menganggap orang kulit hitam itu bodoh, bau, tak mau kerja keras, dan hanya warga kelas dua. Nigger juga sering dianggap bukan manusia, tapi peralihan dari evolusi gorila yang belum tuntas menjadi manusia. Banyak lelucon kasar juga ditulis untuk menyudutkan mereka.
·         Kenapa hiu tidak mau makan Nigger?
Karena hiu menyangka itu tahi ikan paus.
·         Apa persamaan Nigger dan sperma?
Hanya 1 diantara 1.000.000 yang sukses
·         Kenapa Stevie Wonder selalu tertawa?
Karena dia tidak melihat dirinya Nigger
·         Apa bedanya sepeda dan Nigger?
Sepeda tidak menyanyi sewaktu dirantai.
·         Kenapa pikiran Nigger selalu tentang seks?
Karena dikepalanya tumbuh rambut kelamin keriting
·         Apa sebutan Nigger yang sedang naik sepeda?
Pencuri sepeda
·         Apa yang dikatakan Nigger waktu foreplay?
Jangan lapor polisi! Atau aku bunuh kamu!
·         Bagaimana mencegah Nigger menyusup ke halaman belakang rumahmu?
Gantung dia di halaman depan.
·         Orang Nigger naik pohon bawa koper, apa namanya?
Branch Manager.
·         Kenapa orang Nigger bau?
Agar orang buta pun ikut membencinya.

Hal yang sama terjadi pada bangsa kita. Orang Indonesia paling benci dipanggil Indon, apalagi yang memulai dan mempopulerkannya adalah orang Malaysia, saudara serumpun tapi kemudian merasa jadi superior hanya karena banyak TKI pergi mengais rejeki kesana.
Kata Indon, sebenarnya berasal dari singkatan Indonesia. Karena terlalu panjang, maka disingkat menjadi Indon, sebagaimana British menjadi Brit, atau Australia jadi Aussie. Namun, dalam perjalanannya, kata Indon dipakai oleh orang Malaysia untuk menghina, tidak hanya TKI tapi seluruh bangsa kita. Mereka terus-menerus mengkampanyekan Indon sebagai bangsa yang bodoh, babu, miskin, sekaligus jahat. Saat ini, Indon bisa diartikan sebagai Nigger-nya Malaysia. Di internet, banyak sekali lelucon-lelucon yang melecehkan, seperti:
·         Apa bedanya Nabi dengan Indon?
Nabi itu hambanya Allah. Indon itu hambanya Malaysia.
·         Kenapa Indon tidak bisa kaya?
Karena Indon sibuk menggali Pancasila, bukan minyak bumi.
·         Kenapa Indon tidak bisa maju?
Karena Indon seperti garuda, tidak bisa menatap ke depan.
·         Kenapa Tuhan menciptakan selat Malaka?
Untuk mencegah semua Indon masuk Malaysia
·         Bagaimana arkeolog membedakan fosil otak Indon dan otak Malaysia?
Otak Indon lebih bersih dan tidak rusak, karena tak pernah dipakai.
·         Mengapa Nestle membuat mie instan cap Indon?
Untuk memudahkan orang Malaysia mencari makanan kucing yang murah.
·         Seorang Indon minum teh botol bersama orang Malaysia. Selesai minum, Indon membanting botol dan pecah, alasannya di Jakarta banyak botol murah, jadi tak perlu meminum dari botol yang sama dua kali. Kemudian orang Malaysia membanting si Indon sampai mati, alasannya terlalu banyak Indon di KL, jadi tak perlu minum bersama Indon yang sama dua kali.
·         Apa yang panjang, panas dan berbau?
Antrian Indon pulang kampung berlebaran
·         Kenapa Indon selalu menuduh Malaysia suka menjiplak?
Untuk menutupi kejahatan Indon menjiplak garuda dari India dan bendera Monaco.
·         Kenapa Jakarta selalu macet?
Biar Indon pemalas punya alasan terlambat kerja.      
·         Kenapa begitu banyak TKI ke luar negeri?
Saking menyebalkannya Indon, sampai sesama Indon pun tak betah hidup bersama.
·         Mengapa jumlah Indon banyak sekali?
Karena membuat anak adalah satu-satunya keahlian Indon.
·         Apa kehebatan Indon di bidang perdagangan?
Eksportir asap.
·         Gajah mati meninggalkan gading, Harimau mati meninggalkan belang, Indon mati meninggalkan hutang.
·         Kenapa di Indon banyak bencana alam?
Tuhan ingin Indon cepat punah.

Banyak usaha yang dilakukan oleh bangsa Indonesia untuk mencegah pelecehan dengan kata Indon. KBRI di Kuala Lumpur berkali-kali mengajukan protes kepada pemerintah Malaysia. Para netter juga beramai-ramai mengirimkan tanggapan di internet membela harga diri Indonesia. Para programmer dengan rajin meng-hack situs web dari Malaysia yang suka menghina.
Tapi semua itu sia-sia. Usaha-usaha seperti itu hanya membuat orang-orang Malaysia pembenci Indon (Indon-haters) pada tertawa. Mereka terpingkal-pingkal melihat orang Indonesia kebakaran jenggot hanya karena dipanggil Indon. Pancingan mereka berhasil, dan orang Indonesia semakin terlihat tolol di mata mereka.
Andaikata NKRI menjadi negara bagian AS, pasti penghinaan seperti itu tak akan terjadi. Pertama, tentu saja, karena negara Indonesia sudah tidak ada lagi, maka tak ada yang bisa dipanggil Indon. Kita semua sudah menjadi warga negara adidaya bernama AS. Belum lagi, dengan kesejahteraan yang tinggi (setelah integrasi dengan AS), maka takkan ada lagi orang Indonesia yang harus ke Malaysia mengais rejeki. Dan sangat mungkin hal sebaliknya yang terjadi, yaitu orang Malaysia datang ke nusantara ini untuk mencari kerja.
Jadi untuk apa mati-matian mempertahankan negara NKRI, yang hanya membuat kita dihina dan jadi bulan-bulanan dipanggil Indon oleh Malaysia?

Alasan 2
Pemerintah Myopia
Myopia adalah rabun dekat. Namun istilah myopia sering juga dipakai untuk menyindir orang yang berpikiran pendek. Orang berotak myopia adalah orang yang tidak pernah memikirkan konsekuensi tindakannya di masa mendatang.
Sedihnya, pemerintah NKRI juga mengidap penyakit yang sama. Demi kepentingan jangka pendek, mereka sering mengorbankan kepentingan jangka panjang. Hasilnya setiap rejim penguasa NKRI selalu meninggalkan beban bagi rakyatnya di kemudian hari.
Contoh yang pertama, yaitu ketika Orla menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda tahun 1958. Kebijakan myopia itu tidak berhitung bahwa di kemudian hari, Belanda akan melakukan lobi internasional dan menekan pemerintah baru untuk membayar ganti rugi. Hasilnya, begitu Orde Baru berkuasa, rakyat NKRI langsung dibebani hutang 600 juta gulden.
Orba, demi bisa melakukan pembangunan semu segera menambah hutang luar negeri secara besar-besaran. Uang dari hutang itu banyak dikorupsi secara berjamaah, sehingga program myopia ini hanya menjerat rakyat NKRI. And hal itu terus dilanjutkan sampai ke pemerintahan Orde Reformasi, sehingga sekarang, setengah anggaran pendapatan negara dipakai untuk mencicil hutang.
Di masa kini, kebijakan myopia itu diterapkan di berbagai bidang. Program-program seperti BLBI, KUT, BLT, sampai penjualan BUMN penting seperti Indosat adalah bukti sebuah pemerintahan myopia. Kita lelah melihat rakyat semakin menderita hanya karena pemerintah yang mengidap rabun jauh.
Berbeda dengan AS, pemerintah disana berpikir jauh ke depan. Misalnya masalah minyak, mereka tidak kemaruk menghabiskan cadangan sumber daya alam itu, tapi kalau perlu dengan segala upaya mengeruk minyak dari negara-negara lain. Demi sebuah tujuan mengamankan cadangan minyak milik sendiri.
Kalau kita tidak mau punya pemerintah myopia ala NKRI yang selalu menyengsarakan, maka jawabannya, kita harus bergabung dengan AS.

                                                        Alasan 3
Ketidakadilan NKRI
Banyak orang bertanya kenapa Soedirman yang dipilih jadi panglima besar? Padahal Soedirman hanyalah seorang pria muda berusia 29 tahun, dengan penampilan kurus dan menderita sakit paru-paru TBC, pendidikannya hanya di sekolah guru HIK itupun tidak tamat, kemudian berkarir sebagai guru SD di desa kecil bernama Kroya, dan mengenyam pendidikan militer hanya beberapa bulan di markas PETA (Pembela Tanah Air) di Bogor.
Di lain pihak, pada konferensi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) 12 November 1945, para pesaingnya adalah tokoh-tokoh yang senior atau berpengalaman militer lebih banyak. Ada Sri Soeltan HB IX, umur 33 tahun, yang merupakan raja Yogya dan lulusan akademi militer terkenal di Breda, Belanda. Ada juga Oerip Soemohardjo, sudah matang berumur 52 tahun, juga alumnus Breda, dan sudah berpangkat mayor KNIL, plus saat konferensi berlangsung, ia adalah tentara dengan jabatan tertinggi, yaitu Kepala Staf TKR. Kalau nama-nama seperti Nasoetion dan Soeharto, mereka tidak masuk hitungan karena jabatannya masih terlalu rendah.
Ternyata faktor penentu kepangkatan tentara saat itu bukanlah umur ataupun pengalaman militer, tetapi besarnya milisi pasukan yang ada di bawah kendalinya. Ceritanya, setelah proklamasi, pemerintah Indonesia meminta masyarakat membentuk BKR-BKR[1] lokal dengan mengumpulkan para mantan PETA, Heiho, Kaigun, KNIL dan perkumpulan pemuda lainnya. Soedirman yang merupakan orang Banyumas menjadi komandan yang paling banyak anak buahnya. Hal ini disebabkan Banyumas punya kultur ketentaraan yang kuat, sejak jaman kerajaan Mataram banyak orang Banyumas yang menjadi tentara.
Nah, disinilah ketidakadilan NKRI terlihat. Dalam perang kemerdekaan, jumlah pejuang terbesar yang gugur adalah orang Banyumas, tapi apa balas budi NKRI? Sangat kecil dan tidak sebanding. Yogya dan Solo[2] yang bukan penyumbang darah pahlawan terbanyak dijadikan daerah istimewa, tapi tidak ada keistimewaan bagi Banyumas. Papua dijadikan daerah otonomi khusus. Dan Aceh lebih spesial lagi, selain pernah menjadi daerah istimewa, sekarang juga menjadi daerah yang punya otonomi khusus.
Ketidakadilan NKRI juga merambah ke ranah demokrasi. Faktanya, dengan keistimewaan Yogya, maka yang menjadi gubernur selalu saja harus Sultan Yogya, tanpa melalui pemilukada. Dan wakil gubernurnya, selalu saja secara turun temurun adalah raja keraton Pakualam. Hal ini, tak bisa didebat lagi, merupakan penerapan nilai-nilai monarki pada negara demokrasi NKRI, sehingga semakin menambah panjang daftar ketidakadilan NKRI.
Ternyata, pemberian otonomi khusus itu bertujuan untuk meredam pemberontakan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Aceh dan OPM (Organisasi Papua Merdeka) di Papua. Pemerintah NKRI akhirnya mengambil jalan kompromi dengan memberikan hadiah berupa status otonomi khusus. Kalau dibandingkan antara Banyumas dengan Papua dan Aceh, akan terlihat sekali ketidakadilan yang terjadi. Banyumas yang berjuang melawan imperialis (demi berdirinya NKRI) tidak dapat apa-apa, tapi GAM dan OPM yang melakukan gerakan subversif bersenjata mendapatkan hadiah.
Kembali ke konferensi TKR, ketidakadilan NKRI semakin jelas terlihat. Konferensi TKR yang diselenggarakan pada tanggal 12 November 1945 itu tidak dihadiri oleh komandan-komandan divisi Jawa Timur. Alasannya mereka sedang sibuk bertempur dan konsolidasi, mengingat 2 hari sebelumnya, yaitu tanggal 10 November, terjadi perang besar di Surabaya yang akhirnya diperingati menjadi Hari Pahlawan. Sungguh menyedihkan, ketika sebagian pasukan berperang mengusir penjajah Belanda yang berniat kembali berkuasa, sebagian lainnya sibuk mengadakan konferensi untuk penentuan jabatan tertinggi militer. Komandan-komandan tentara Jawa Timur tak mungkin terpilih menjadi petinggi nasional TKR, hanya karena mereka sedang giat berjuang mengusir penjajah. Betapa tidak adil.
Dan pemerintah pusat di Jakarta tak berbuat apa-apa terhadap keanehan tersebut. Sebaliknya, pemerintah pusat mengamini semua keputusan konferensi itu, dengan melantik pejabat-pejabat TKR yang dihasilkan dari konferensi itu.
Dalam hal ekonomi, ketidakadilan NKRI terjadi paling parah dalam perpajakan. Golongan menengah adalah yang paling banyak ditarik pajaknya, karena mereka tidak bisa mengelak ketika ditarik pajaknya melalui pemotongan gaji. Golongan menengah yang menjadi pengusaha juga tidak bisa mengelak dari petugas pajak, berbeda dengan pengusaha golongan atas yang punya dana khusus untuk melarikan diri dari pajak (seperti kasus Gayus). Namun NKRI tidak memberikan “pengembalian” yang adil pada golongan menengah, yang selalu ditolong oleh pemerintah NKRI selalu saja golongan atas, salah satu contohnya adalah BLBI.
Bila revolusi AS (yang berslogan “Taxation without Representation” atau “Perpajakan Tanpa Perwakilan”) meletus karena ketidakadilan kolonialis Inggris yang menarik pajak pada rakyat AS namun tidak memberikan hak legislatif, maka rakyat NKRI (khususnya golongan menengah) seharusnya juga melakukan revolusi akibat adanya “Perpajakan Tanpa Pengembalian”.
Dengan 3 contoh itu saja, kita bisa menyimpulkan, betapa ketidakadilan selalu ada di NKRI. Apakah kita akan terus mempertahankan sesuatu yang berdiri di atas ketidakadilan?

Alasan 4
Penjara Bernama Bahasa
Ada sebuah humor menarik tentang bahasa. Pada suatu hari, ada jamuan makan kenegaraan antara NKRI dan AS. Ibu negara NKRI kebetulan seorang wanita yang kurang menguasai bahasa Inggris, tapi ingin kelihatan ramah terhadap Ronald Reagan. Kebetulan saat itu salah satu menu hidangan adalah mie goreng, maka ibu negara NKRI segera bertanya pada presiden AS itu, “do you like mie?
Ronald Reagan langsung gelagapan, dan segera melirik ke arah istrinya, juga ke presiden NKRI yang menjadi suami wanita itu. Dengan nada suara yang canggung, ia menjawab “ehmmm, you are such a nice lady.
Yang membuat Ronald Reagan gelagapan, karena ia mengira diberi pertanyaan berikut, “do you like me?
Problem di atas disebabkan oleh kesalahan dalam penggunaan bahasa. Seharusnya ibu negara NKRI bertanya dengan kalimat “do you like noodle? 
Bahasa adalah alat utama manusia untuk berkomunikasi. Bahasa yang sama akan membuat orang mudah mengekspresikan diri maupun membaca kehendak orang lain. Sebaliknya, perbedaan bahasa akan membuat kesulitan dalam interaksi antar manusia. Tidak jarang, hal itu bisa menimbulkan kesalahpahaman, seperti cerita di atas.
Menyangkut bahasa, telah terjadi kebijakan myopia yang dilakukan oleh pemerintah NKRI. Dengan menetapkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi NKRI, maka itu sama saja dengan mengisolasi rakyatnya dari pergaulan internasional. Bahasa bisa menjadi penjara tak kasat mata.
Banyak problem timbul karena kebijakan itu. Salah satu contohnya, banyak pelajar Indonesia yang bersekolah di luar negeri mengalami penurunan prestasi karena permasalahan bahasa. Banyak juga sarjana lulusan universitas Indonesia yang mengambil kuliah pasca sarjana di luar negeri diharuskan melewati masa transisi selama setahun untuk belajar bahasa. Berapa banyak biaya harus dikeluarkan untuk itu? Dan bagaimana kita bisa mensukseskan program transfer teknologi, kalau masih terkendala bahasa?
Kekalahan diplomasi NKRI di dunia internasional sering disebabkan oleh kelemahan berbahasa Inggris. Negarawan dan diplomat, bagaimana pun juga adalah manusia, sehingga hasil perundingan sering disebabkan karena keakraban para diplomat dari negara-negara yang terlibat. Lihat saja “kemesraan” diplomasi antara Barack Obama dengan Julia Gillard itu salah satunya disebabkan keduanya sama-sama native speaker (penutur asli) bahasa Inggris. Dan sehebat-hebatnya diplomat Indonesia berbahasa Inggris, pasti tak sefasih native speaker. Jeratan bahasa Indonesia membuat banyak diplomat kita tidak sejago yang seharusnya, pantas saja diplomasinya kurang sukses.
Bagi para netter di nusantara, mencari data di Google yang selalu menjadi kendala adalah bahasa Inggris. Sebagian besar situs web di internet itu berbahasa Inggris. Andaikan bahasa Inggris ditetapkan menjadi bahasa resmi yang dipelajari anak-anak Indonesia sejak lahir dan bersekolah, tentu saja mencari data di internet menjadi lebih mudah.
Contoh lain yang sepele adalah nonton film. Gara-gara rakyat NKRI dipaksa memakai bahasa Indonesia, membuat bahasa Inggrisnya parah, sehingga ketika menonton film Hollywood harus memakai teks terjemahan di bawahnya. Di bioskop, mata orang NKRI harus juling agar bisa sekaligus melihat film dan membaca teks terjemahan. Betapa merepotkan! Belum lagi, sering terjadi kesalahan penerjemahan, sehingga dialognya jadi aneh. Betapa nyamannya nonton film Hollywood bagi pemirsa yang fasih berbahasa Inggris.
Masalah lainnya, bahasa Indonesia adalah bahasa yang muda dan masih jauh dari kesempurnaan. Karena bahasa asalnya, yaitu bahasa Melayu, dijadikan bahasa Indonesia dengan alasan kesederhanaannya. Ditambah lagi, vocabulary (perbendaharaan kata) bahasa Indonesia sangat minim, membuat kita kerepotan karena setiap hari selalu saja ada kata baru dalam bahasa Indonesia. Begitu banyak kata bahasa Inggris yang di Indonesia-kan. Daripada repot, kenapa nggak sekalian saja kita berbahasa Inggris?
Permasalahan vocabulary tidak sampai hanya disitu. Saya sendiri pun mengalami masalah ketika menulis novel. Menurut teori, menulis novel yang baik adalah jangan terlalu sering mengulang kata yang sama. Tapi karena sedikitnya perbendaharaan kata bahasa Indonesia, maka mau tidak mau, akhirnya terulang lagi kata yang sama.
Dalam melakukan deskripsi cerita, minimnya kata juga jadi masalah. Sering untuk menyatakan sebuah rasa atau kehendak, tak bisa ditemukan kata yang tepat. Sehingga kalimat yang terbangun tidak bisa mewakili apa yang kita ingin tuliskan. Tentu saja, para pembaca tidak bisa menerima informasi selengkap yang dimaksud oleh penulisnya.
Alasan yang sama yang membuat Bung Karno dalam pidato-pidatonya, selalu mengucapkan istilah-istilah asing seperti Welstanschauung (pandangan hidup), philosofische grondslag (dasar falsafah), grundnorm (dasar norma), l'exploitation de l'homme par 'homme (eksploitasi manusia oleh manusia), belum lagi pembicaraan di lingkungan elit istana waktu itu yang sering memakai bahasa Belanda. Sebenarnya aneh juga, beliau yang mewajibkan bahasa Indonesia, namun beliau sendiri sering memakai bahasa asing.
Tidak adanya tenses juga menjadi problem tambahan. Tenses, atau perubahan bentuk kata kerja yang berkaitan dengan waktu, membuat sebuah kata kerja bisa menerangkan kapan kejadiannya tanpa menambahkan adverb (kata keterangan) tentang waktu. Jadi lebih efisien dan lebih informatif.
Adjective (kata sifat) dalam bahasa Inggris digunakan dengan merubah kata kerja, plus diletakkan di muka noun (kata benda). Bahasa Indonesia tidak mengenal itu, sehingga sering sulit untuk melakukan penerjemahan secara tepat. Sebagai contoh, di awal buku ini untuk menterjemahkan “a losing battle” dipakai kalimat “pertempuran yang hasilnya pasti kalah”. Terjemahan itu, selain panjang juga kurang tepat artinya.
Dan yang paling parah, bahasa ternyata mempengaruhi intelektualitas penggunanya. Menurut penelitian ahli linguistik Edward Sapir dan Benjamin Whorf, bahasa mempengaruhi pemakainya dalam penalaran terhadap dunianya, karena bahasa itu sendiri artinya adalah logika berpikir yang direpresentasikan dalam simbol-simbol abjad. Kesimpulan mereka, bahasa mempengaruhi tingkah laku dan kepandaian pemakainya.
Penelitian itu membuktikan bahwa ketidaklengkapan bahasa Indonesia membuat pemakainya tidak bisa melakukan penalaran dengan lebih rinci. Apalagi bahasa Indonesia sebagai bahasa lokal membuat pencarian informasi di jaman internet ini hanya jadi hambatan. Bisa disimpulkan disini, bahwa penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa wajib itu sama saja dengan gerakan pembodohan rakyat NKRI. Sayangnya selama ini yang selalu dikambinghitamkan adalah kurangnya anggaran pendidikan.
Dan harus diingat, bahasa Indonesia adalah bahasa yang ruang lingkupnya regional, bisa dibilang lokal karena negara tetangga seperti Malaysia pun menyatakan memakai bahasa Melayu, bukan bahasa Indonesia. Kondisi ini membuat para birokrat di departemen perdagangan dituntut untuk bisa menguasai bahasa Inggris (sebagai bahasa internasional) agar dalam menjalankan pekerjaannya melakukan koordinasi perdagangan dengan luar negeri atau investor asing bisa lancar.
Untuk memecahkan masalah tersebut, maka menteri perdagangan Gita Wirjawan membuat program kursus bahasa Inggris, agar para PNS di lingkungan kerjanya punya skor TOEFL (Test of English as a Foreign Language) minimal 600. Program yang dicanangkan Gita Wirjawan ini menimbulkan keresahan di lingkungan kementerian tersebut, sampai ada yang mengirimkan surat kaleng (dimungkinkan dari pegawai-pegawai yang merasa sudah lanjut usia tapi diharuskan ikut belajar lagi sehingga merasa tidak nyaman). Belum lagi, pemerintah harus mengeluarkan biaya kursus sebesar 6 milyar rupiah untuk tahun 2012 saja. Bisa dibayangkan berapa dana yang diperlukan untuk membiayai gerakan TOEFL 600 bagi seluruh departemen selama bertahun-tahun? Pasti luar biasa besarnya.
Selama ini kita hanya menyadari bahwa politik isolasi adalah sebuah kebijakan pemerintah Jepang jaman dinasti shogun Tokugawa, yang menutup diri dari dunia internasional. Tapi kalau kita cermati lebih dalam, politik isolasi juga terjadi di NKRI, hanya beda konteks. Mewajibkan bahasa Indonesia, sama saja dengan mengisolasi rakyatnya agar hanya berkomunikasi dengan sesama orang Indonesia. Bahasa Indonesia saat ini ibarat penjara bagi penggunanya, karena menjauhkan diri dari pergaulan internasional.
Bahasa juga bisa menjadi beban pikiran bagi rakyatnya. Bandingkan dengan jaman dulu ketika Indonesia masih dijajah Belanda dan belum merdeka, saat kerajaan-kerajaan masih berdiri. Ambil saja contoh di Jawa Barat, maka rakyatnya hanya perlu belajar bahasa Sunda dan bahasa Belanda. Namun sekarang, di jaman kemerdekaan ini, para siswa harus belajar minimal 3 bahasa, yaitu bahasa Sunda, Indonesia, dan Inggris (masih untung bahasa Belanda tidak diwajibkan juga). Dengan adanya tambahan 1 bahasa baru, yaitu bahasa Indonesia,  tentu saja semakin banyak waktu dan enerji bagi para siswa jaman sekarang yang harus didedikasikan untuk mempelajarinya. Padahal bahasa Indonesia tidak memberikan nilai tambah, jadi bisa dikatakan bahasa Indonesia adalah bahasa sia-sia.  
Dan bisa dikatakan pemakaian bahasa Indonesia adalah diskriminasi terhadap generasi muda Indonesia. Saat ini berbagai lapangan pekerjaan penting memberikan prasyarat pendaftarnya harus fasih berbahasa Inggris. Di sekolah-sekolah internasional yang berbiaya mahal, murid-murid diberi pendidikan bahasa Inggris oleh guru yang native speaker, sehingga mereka bagus sekali menguasai bahasa Inggris. Sedangkan sekolah-sekolah di kampung, bisa dikatakan murid-muridnya tidak menguasai, karena pendidikan bahasa Inggrisnya sangat kurang secara kualitas maupun kuantitas. Sehingga di masa depannya, anak-anak yang belajar di sekolah kampung tak bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dan hanya menjadi calon-calon kuli saja.
Bila NKRI menjadi negara bagian AS, maka bahasa wajib dan mother tongue adalah bahasa Inggris, yang merupakan bahasa internasional. Ibaratnya, dengan bahasa Inggris, maka dunia terbuka lebih lebar dan dinding isolasi menjadi runtuh. Efek langsungnya, tentu saja, kita akan mudah bila pergi belajar ke negara lain, mampu berdiplomasi dengan lincah, bisa nonton film Hollywood dengan nyaman dan mengirit anggaran negara yang dipakai untuk kursus bahasa Inggris bagi PNS.
Ditambah lagi, dengan hanya belajar bahasa Inggris saja, maka generasi muda kita bisa menggunakan lebih banyak waktunya untuk belajar ilmu yang lebih berhubungan dengan karirnya, lebih terspesialisasi. Biarlah bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah hanya dikuasai oleh segelintir pakar yang spesialis mempelajari bahasa-bahasa tersebut, sebagaimana bahasa Hieroglif.

Alasan 5
Bangsa Kuli
Awal abad 1900-an, dua bersudara Emil dan Theodor Helfferich dari Jerman datang ke Indonesia, lalu membeli 900 hektar tanah di daerah Cikopo, Bogor, untuk dijadikan perkebunan teh. Keduanya merasa aneh dengan bangsa Indonesia, yang punya tanah yang subur lagi luas, namun akhirnya hanya menjadi buruh pemetik teh dengan dengan gaji 2,5 sen per hari. Fenomena itu membuat mereka menulis pernyataan terkenalnya, “Eine nation von kuli und kuli unter den nationen.” Indonesia adalah bangsa kuli, dan kuli di bawah bangsa-bangsa lain.
Mungkin dulu kita bisa beralasan, nasib buruk itu disebabkan oleh penjajahan Belanda selama berates-ratus tahun. Tapi sekarang, setelah kemerdekaan, setelah NKRI berdiri, ternyata keadaannya sama saja. Bagi masyarakat bawah yang berpendidikan rendah, tak ada lapangan pekerjaan yang tersedia. Akhirnya mereka jadi TKI yang merantau ke negara lain. Walaupun disana mereka sering mendapat siksaan, namun demi sesuap nasi untuk keluarganya, mereka rela menjadi budak di abad milenium sekarang ini.
Menyangkut penderitaan yang dialami oleh TKI, pemerintah NKRI hanya gembar-gembor membanggakan kekuatan pasukan TNI yang siap sedia mempertahankan kedaulatan NKRI. Padahal, perlindungan terhadap warga negara bukan hanya dari serbuan tentara asing, tapi keselamatan kerja juga menjadi salah satunya.
Pemerintah juga melakukan kebijakan blunder pada masyarakat kelas menengah. Penjualan berbagai BUMN menguntungkan dan pengelolaan sektor-sektor strategis kepada pihak asing membuat kelas menengah hanya menjadi pegawai, dimana keuntungan perusahaan menjadi milik orang asing. Kaum menengah NKRI hanya menjadi kuli berdasi.
Golongan atas, termasuk para pejabat, menganggap hanya mereka yang bukan kuli. Tapi itu salah, karena dalam pelaksanaannya, mereka masih didikte oleh pihak asing. Perasaan bahwa mereka bukan kuli, disebabkan karena kebanggaan bahwa di antara pribumi, merekalah yang ada di tingkatan tertinggi. Kebahagiaan di atas penderitaan orang lain itu adalah warisan mentalitas mandor kolonial jaman dulu.
Apakah kita akan tetap mempertahankan NKRI, yang hanya membuat kita terhina karena dicap sebagai bangsa kuli?

Alasan 6
No Afgan
Ketika browsing internet, sering saya menemukan sebuah tulisan “No Afgan” pada sebuah iklan. Ketika saya tanyakan pada ponakan yang biasa pakai bahasa gaul, maka saya pun diterangkan artinya. Seperti yang kita semua tahu, Afgan adalah penyanyi bersuara merdu. Salah satu lagu yang sering dinyanyikan Afgan berjudul “sadis”, jadi No Afgan itu artinya “jangan sadis.”
Dalam iklan di internet, No Afgan sering ditulis oleh si pembuat iklan (penjual), karena banyak sekali calon pembeli yang begitu sadis mengajukan penawaran. Misalnya sebuah barang ditawarkan 1 juta rupiah, sering ditawar hanya 100 ribu rupiah saja.
Namun untuk hal itu, okelah kita bisa mengerti. Karena jual beli adalah kegiatan sukarela, tanpa ada paksaan. Apalagi dengan kuatnya motto “pembeli adalah saja”, maka tentu saja itu menjadi hak bagi orang yang menawar. Dan si penjual pun juga lebih senang pada orang yang menawar sadis, dibanding yang tidak memberikan penawaran, karena minimal orang tersebut sudah menjadi prospek (calon pembeli). Sehingga, dalam iklan di internet, kata “No Afgan” sering dipakai untuk mengekspresikan sebuah iklan yang humoris, apalagi bila ditambah dengan ikon smiley.
Namun fenomena “No Afgan” yang paling mengerikan terjadi dalam kehidupan bernegara. Konflik antar warga pribumi ternyata lebih berdarah-darah dibanding perang dengan pihak asing. Dalam sejarah Indonesia, peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 yang sering digembar-gemborkan, ternyata meminta korban di pihak Belanda hanya 6 tentara, dan Indonesia 300 prajurit. Tapi ketika terjadi gerakan penumpasan G30S PKI, maka korban jiwa mencapai 1 juta orang.
NKRI memang negara aneh.  Terhadap warga asing ramah, tetapi kepada saudara sebangsa begitu ganas. Ketika TKI kita di Arab Saudi diperlakukan dengan kejam, dipukuli, disetrika, diperkosa, dan tidak dibayar gajinya. UI, sebagai universitas kebanggaan yang menyandang nama Indonesia, malahan memberikan gelar Doktor Honoris Causa pada raja Arab Saudi. Ironisnya, gelar Doktor itu untuk bidang Perdamaian dan Kemanusiaan. Ketika TKI butuh pertolongan di Arab Saudi, sulit sekali mendatangkan pejabat dari Indonesia. Tapi, dalam pemberian gelar itu, rektor UI bersedia menghambakan diri pergi jauh ke Arab Saudi untuk memberikannya.
Menurut psikologi, individu yang kejam terhadap orang-orang terdekatnya adalah sebuah konsekuensi dari mentalnya yang merasa inferior, rendah diri atau tidak pede. Seorang ibu yang mengalami sindrom inferior sering memarahi anak kecilnya hanya karena khawatir anak tersebut melakukan perbuatan yang memalukan di depan tamu yang berkunjung ke rumahnya.
Penjahat amatir juga banyak yang mengidap penyakit inferior. Perampokan sering dilakukan oleh penjahat yang kenal korbannya, entah itu saudara, teman atau mantan karyawannya. Pemerkosa inferior juga melakukannya pada wanita tetangga atau orang dekat, tidak pada artis yang lebih cantik dan mulus, walaupun kedua tindak kejahatan itu sama-sama mengirimnya ke penjara.
Rasa inferior membuat orang tidak berani pada sesuatu yang kelihatan besar dan kuat. Dan sebagai kompensasinya, maka ia akan melakukan tindakan sewenang-wenang pada orang di sekitarnya yang lebih lemah dari dirinya.
Hal yang sama terjadi pada NKRI. Sebagai negara lemah dengan sebutan bangsa kuli dan negeri babu membuat pemerintahnya mengidap sindrom inferior. Sehingga terhadap negara besar takut, kemudian kompensasi untuk menunjukkan kehebatannya, mereka melakukan penindasan pada rakyatnya sendiri.
Mengganti pemerintah yang sekarang juga bukan jalan yang terbaik. Karena selain memicu konflik, pemerintah penggantinya pasti akan sama saja, mengalami sindrom inferior juga. Hal paling bijaksana adalah mengganti NKRI menjadi negara bagian AS. Dengan menjadi bagian dari negara terkuat di dunia, maka pemerintah tak akan mengalami sindrom inferior itu lagi. Apalagi sudah kita ketahui dari berbagai berita, bahwa AS adalah negara yang “No Afgan” terhadap warganya. Dan bila salah satu warganya terjerat masalah, negara AS selalu berusaha keras melidunginya, walaupun problem tersebut terjadi di luar wilayahnya.

Alasan 7
Tikus Dalam Roda
Di toko pet shop, sering dijual tikus putih dalam keranjang yang di dalamnya terdapat roda kincir. Di keranjang itu juga diberi gantungan sepotong keju untuk iming-iming agar si tikus berlari di dalam roda yang berputar. Hasilnya, tikus itu hanya terengah-engah kecapaian, tapi tak pernah berhasil mendapatkan kejunya. Banyak orang membeli produk tersebut, karena geli melihat tontonan tikus bodoh berlari-lari untuk mendapatkan hadiah yang tak mungkin diperolehnya.
Kalau kita mau jujur, ternyata kita juga sebodoh tikus itu, hanya keranjangnya saja yang berbeda. Andaikan banyak yang tak menyadarinya, itu karena keranjang yang mewadahi kita adalah keranjang tak kasat mata. Keranjang kita itu bernama NKRI. Lihat saja sejarah jaman Orde Lama, oleh Soekarno, rakyat NKRI diberi iming-iming kemerdekaan yang katanya jembatan emas untuk mengantarkan menuju masyarakat adil dan makmur. Namun, setelah 20 tahun merdeka, rakyat hanya mendapatkan negara yang terpecah belah dengan tumbal 1 juta nyawa melayang di tahun 1965.
Kemudian masa Orde Baru memberikan kita iming-iming keju lezat berupa “masyarakat gemah ripah lih jinawi toto tentrem kerto rahajo, tukul kang sarwo tinandur, murah kang sarwo tinuku[7], dengan syarat kita mau berlari dalam program pembangunan 7 Pelita (Pembangunan lima tahun). Jadi total, kita harus mau prihatin berkeringat terengah-engah selama 35 tahun. Dan ketika waktu sepanjang itu hampir terlampaui, ternyata kenyataan pahit yang menunggu kita: badai krisis moneter menyerang, kita pun berantakan. PHK dimana-mana, pengusaha pada bangkrut, rupiah anjlok, harga-harga melonjak, masyarakat cemas tak tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari. Yang sukses hanya si pemberi iming-iming keju, karena dengan strategi itu, akhirnya bisa jadi presiden selama 32 tahun.
Strategi yang dilakukan oleh Soekarno dan Soeharto ini juga terjadi di pemerintahan yang sekarang, dengan program Visi 2030. Untuk membuat rakyat tertarik, iming-iming Visi 2030 dibuat lebih manis (walau kenyataannya terlalu ambisius) dibanding 7 Pelita ala Orde Baru, karena berani memasang tarjet perekonomian NKRI akan menjadi kekuatan nomor 5 di dunia, setelah Cina, India, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Jadi siap-siaplah wahai warga NKRI untuk berkeringat lebih deras berlari di dalam roda-yang-jalan-di-tempat ala Orde “Bersama Kita Bisa” selama 19 tahun!
Sampai disini, kita sekarang dihadapkan pada 2 hal. Yang pertama, kenyataan yang tidak bisa dirubah adalah: NKRI itu hanyalah keranjang dengan roda-jalan-di-tempat. Yang kedua (kenyataan yang bisa kita rubah) adalah diri kita sendiri: apakah kita akan mempertahankan NKRI yang membuat kita seperti tikus bodoh? Atau kita memang lebih bodoh dari tikus itu, karena kita tahu penyebabnya, tapi tidak mau merubahnya.

Alasan 8
Pemerintah Dependen
Tahun 1641, Raden Mas Rangsang, raja ketiga kerajaan Mataram, mengirim utusan ke Mekkah dengan menyewa kapal Inggris untuk mendapatkan gelar Sultan. Hasilnya, dalam buku sejarah, kita mengenal sosok yang bernama Sultan Agung.
Apa yang dilakukan oleh Raden Mas Rangsang, adalah demi menambah bobot legitimasi kekuasaannya. Untuk kaum kejawen, legitimasi raja Mataram sudah kuat dengan memakai hegemoni mitos Nyi Roro Kidul, dimana rakyat Jawa mempercayai orang yang berhak memerintah tanah Jawa adalah suami Nyi Roro Kidul. Padahal sebelumnya sudah ada perjanjian dari Nyi Roro Kidul, bahwa semua raja Mataram dan raja penggantinya, akan menjadi suaminya. Bila rakyat tidak tunduk pada suaminya (alias raja Mataram), maka Nyi Roro Kidul mengancam akan mengamuk menenggelamkan tanah Jawa dengan banjir air samudra selatan.
Saat itu, agama Islam mulai mendominasi tanah Jawa, maka penguasa Mataram harus bisa membuat hegemoni baru, yang khusus ditujukan untuk kaum muslim. Dan hegemoni itu adalah gelar Sultan, yang tentu saja tidak semua orang bisa mendapatkannya, karena perjalanan ke Mekkah begitu jauh dan mahal, plus persyaratan berat lain (yang sayangnya tidak ditulis dalam sejarah), karena setiap pemberian gelar pasti tidak gratis, tapi harus ada konsesi lain sebagai imbalannya.
Dengan adanya gelar Sultan, membuat Raden Mas Rangsang punya legitimasi lebih kuat pada masyarakat Islam dibanding ayahnya yang bergelar Panembahan (orang yang disembah). Adanya gelar Sultan dan mitos Nyi Roro Kidul membuat raja Mataram begitu kuat legitimasinya atas 2 kekuatan besar di tanah Jawa, yaitu muslim dan kejawen.
Apa yang dilakukan oleh Sultan Agung, juga telah dilakukan oleh raja-raja Banten, salah satunya adalah Sultan Ageng Tirtayasa. Budaya meminta gelar dari negara lain merupakan salah satu bukti bahwa pemerintah kita sejak dulu merupakan pemerintah yang dependen (punya ketergantungan) akan pengakuan dari negara lain.
Belanda menjajah Indonesia tidak hanya dengan senapan dan amunisi, tapi juga ilmu antropologi. Kesuksesan Belanda menghancurkan pemberontakan Aceh, juga disebabkan prestasi antropolog Snouck Hurgronje menganalisa budaya Aceh. Dengan ilmu antropologi juga, Belanda tahu bahwa negara (yang mengaku) independen di tanah nusantara ini, ternyata pemerintahannya selalu dependen akan pengakuan negara lain.
Dan ilmu antropologi Belanda dipakai untuk memperdayai NKRI yang baru lahir. Belanda tahu, pemerintahan Soekarno Hatta memerlukan legitimasi yang kuat, karena selembar teks proklamasi (apalagi ditulis sendiri) tentu saja tidak kuat. Makanya, tidak lama setelah proklamasi, terjadi banyak proklamasi negara-negara non NKRI. Selain NKRI, waktu itu ada 16 negara baru, yaitu:
1.      Negara Pasundan
2.      Negara Jawa Timur
3.      Negara Indonesia Timur
4.      Negara Madura
5.      Negara Sumatera Selatan
6.      Negara Sumatera Timur
7.      Negara Riau
8.      Negara Jawa Tengah
9.      Negara Dayak Besar
10.   Negara Bangka
11.   Negara Belitung
12.   Negara Kalimantan Timur
13.   Negara Kalimantan Barat
14.   Negara Kalimantan Tenggara
15.   Negara Banjar
16.   Negara Dayak Besar
Belanda yang waktu itu membutuhkan uang banyak untuk membangun kembali negaranya yang hancur akibat Perang Dunia Kedua (dan penjajahan Nazi Jerman), segera menjual “pengakuan kedaulatan” kepada Soekarno/Hatta. Dan bersepakatlah semua pihak untuk menyelenggarakan KMB (Konferensi Meja Bundar), dengan Belanda datang untuk alasan ekonomi, dan NKRI yang diwakili Hatta untuk alasan politis (diakui kemerdekaannya). Tercapailah kesepakatan, Belanda dapat uang 4,1 milyar dolar, Hatta bisa membawa pulang sertifikat pengakuan kedaulatan dari Belanda.
Dari fakta itu bisa diketahui bahwa KMB tidak lebih dari pembelian “pengakuan kedaulatan”, untuk membuat Soekarno/Hatta lebih punya legitimasi dibanding 16 pemimpin negara non NKRI tersebut. Apalagi saat itu Soekarno/Hatta oleh tentara sekutu masih dicap sebagai kolaborator[8] Jepang, membuat “sertifikat legitimasi” menjadi sangat penting. Jadi bisa dikatakan, KMB sebenarnya sama saja dengan usaha para raja Mataram dan Banten untuk membeli gelar Sultan dari pihak asing.
Sejak dulu, rasa inferioritas telah membuat pimpinan kita membutuhkan peran serta asing untuk menguatkan kekuasaan (legitimasi). Untuk menjadi negara yang tak ada campur tangan asing, maka kita harus menjadi negara kuat. Kalau NKRI menjadi negara bagian AS, budaya pembelian legitimasi (yang dampaknya mencekik rakyat) seperti di atas tidak perlu dilakukan lagi, karena di AS legitimasi kekuasaan bisa diperoleh dengan cara yang murah, yaitu lewat pemilu.

Alasan 9
Katak Dalam Tempurung
Manoj Nelliyattu Shyamalan, atau yang lebih dikenal dengan nama profesionalnya, M Night Shyamalan, adalah orang keturunan India yang sukses di jagad Hollywood. Film-film produksinya tidak saja memperoleh banyak penghargaan, namun juga meraih keuntungan yang besar. Sebagai orang serba bisa, sering ia merangkap pekerjaan, dari sutradara, produser, penulis skenario, sekaligus aktor. Tapi yang paling dikagumi dari Shyamalan adalah film-film buatannya selalu berakhir dengan twist yang tak terduga, seperti film The Sixth Sense, The Signs, The Village, The Happening, The Last Airbender, Lady in the Water, sampai Devil.
Salah satu film Shyamalan yang paling berkesan di hati saya adalah The Village. Film yang ber-genre psikologi horor ini bercerita tentang seorang profesor yang mendirikan sebuah desa (village) terpencil di tengah hutan lebat, dalam usahanya membuat keluarganya hidup damai dari ancaman kejahatan dunia luar. Demi mencegah penduduknya berhubungan dengan dunia luar, maka professor itu mengarang cerita bohong tentang hantu seram yang menghuni hutan sekitarnya. Sampai akhirnya ada wanita yang nekat keluar desa menerobos hutan demi mencari obat untuk menyembuhkan kekasihnya yang terluka.
Apa yang dilakukan oleh si professor itu sama saja dengan menjadikan warga desa sebagai “katak dalam tempurung (yang terbuat dari kebohongan publik)”. Dan Moral of the story dari kisah ini adalah kebohongan publik—walaupun alasannya demi melindungi masyarakat—namun hasil akhirnya tidak baik.
Warga negara NKRI juga selalu diperlakukan seperti penduduk di film The Village. Pemerintah sering melakukan kebohongan publik, demi membuat masyarakatnya berbangga seolah tempurung NKRI itu begitu hebat. Kebohongan publik yang dilakukan pemerintah NKRI ada dimana-mana, dari buku sejarah sampai pemberitaan di media massa. Pembelian kedaulatan dari Belanda dikisahkan sebegai kemerdekaan yang direbut dengan bambu runcing, hutang luar negeri disebut dengan bantuan, pembelian perusahaan dalam sejarah masih tetap ditulis dengan istilah nasionalisasi.
Berita yang terbaru adalah tentang hibah 24 unit pesawat F-16, yang tentu saja membuat rakyat merasa beruntung mendapat pesawat canggih secara gratis. Namun ternyata itu adalah kebohongan publik yang dilakukan pemerintah NKRI dengan bungkus hibah. Pesawat F-16 itu ternyata datang dalam keadaan rongsokan, dan perlu biaya perbaikan sebesar 6 trilyun rupiah. Ternyata ada dusta dibalik hibah pesawat F-16 itu. Bahayanya lagi, konsep perbaikan ini sangat rawan terhadap tindak korupsi dibanding dengan pembelian pesawat baru (yang sudah jelas harganya). Itulah pemerintah NKRI, selalu mencari cara bagaimana mendapatkan proyek (yang mudah dikorupsi), sekaligus memperoleh tepuk tangan kekaguman rakyat.
Kebohongan publik juga dikampanyekan di berbagai bidang secara terus-menerus, tentang NKRI sebagai bangsa yang besar, berbudaya tinggi, ramah, adat ketimurannya yang santun, negara yang terkenal di seluruh penjuru dunia, semua itu demi membuat rakyatnya terkagum-kagum pada pemerintah (sebagai nakhoda NKRI). Dan bahayanya, ini berdampak pada rakyatnya jadi gampang geer, tidak rasional, dan kurang introspeksi diri, karena menganggap sudah hebat.
Dalam sejarah yang sudah berlalu pun ditulis ulang dengan kebohongan publik, demi pencitraan para pelakunya. Sebagai contoh, Sumpah Pemuda yang diperingati tiap tahun oleh warga NKRI ternyata tidak ada. Menurut penelitian Dr. phil. Ichwan Azhari, MS., dalam dokumen otentiknya, kata Sumpah Pemuda itu tidak pernah ada, yang ada hanyalah Poetoesan Kongres. Dan Kongres itu juga sebenarnya biasa-biasa saja, namun dikramatisasikan dengan kata tambahan “sumpah” di dalamnya. Kongres Pemuda dimanfaatkan sebagai politik jangka pendek dan pengagungan diri. Dongengan Sumpah Pemuda tidak lahir pada tahun 1928 sebagaimana dalam buku sejarah, tetapi pada 1954, sebagai hasil dari  kesepakatan Soekarno dan Mohammad Yamin yang saat itu menjabat menteri pendidikan, untuk membelokkan kata Poetoesan Congres menjadi Sumpah Pemuda, demi sebuah alasan untuk membangun simbol bangsa.
Untuk memperbaiki mental pemerintah NKRI agar menjadi birokrasi yang jujur dan tidak suka melakukan kebohongan publik, adalah hal yang sangat sulit. Bisa dibilang hampir tidak mungkin. Karena sudah turun-temurun sejak awal masa kemerdekaaan, berbagai rejim penguasa NKRI, yang walaupun saling bermusuhan, namun untuk urusan kebohongan publik, mereka punya prinsip yang sama. Membohongi publik sudah menjadi penyakit turunan yang terselip dalam gen birokrasi NKRI.
Pemerintah AS relatif lebih jujur dibanding NKRI. Selain birokrasi mereka selalu berdasar data, media pun terus menyorotnya, dan budaya kejujuran juga sudah ditanamkan sedini mungkin pada rakyatnya. Buktinya, buku sejarah AS selalu mencatat bahwa presiden mereka yang paling parah bukanlah presiden yang paling bodoh atau paling miskin, tapi presiden yang paling suka berbohong. Contohnya adalah presiden Richard Nixon dalam skandal Watergate, ia yang paling buruk namanya karena melakukan kebohongan publik. Hal itu membuat presiden dan pemerintahan mendatang, selalu berusaha untuk jujur, sepahit apapun kejujuran itu. Sehingga presiden Barack Obama, dalam biografinya mengakui bahwa dirinya pernah terjerat alkohol dan ganja. Bukan kisah yang bagus, tapi yang penting jujur.
Di lain pihak, pada buku-buku biografi pemimpin NKRI, setiap tokoh selalu bercerita atau diceritakan sebagai manusia yang ideal, bisa dikatakan sebagai manusia setengah dewa, karena sejak kecil sudah menjadi sosok yang pintar, selalu dijadikan pemimpin oleh rekan-rekannya, taat beribadah, anti narkoba, dan tak pernah mencuri apalagi korupsi. Padahal tak ada manusia yang ideal, kalau pun ada, berarti itu sebuah kebohongan. Tradisi tebar pesona memicu para tokoh terbiasa berbohong pada rakyat.
Kesimpulan dari fakta-fakta ini sederhana saja, bila rakyat nusantara ingin pemimpin dan pemerintahan yang lebih jujur, maka bergabung ke negara AS adalah langkah lebih mudah, dibanding menyembuhkan penyakit kronis NKRI itu.

Alasan 10
Sapi Perah
OFP (Overseas Fellowship Program) adalah program beasiswa yang diberikan kepada pelajar Indonesia jaman pemerintah Orba, untuk belajar di Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang. Tujuannya adalah mencetak SDM (Sumber Daya Manusia) yang berteknologi dalam rangka mengejar ketertinggalan Indonesia dari negara-negara maju.
Tahun 1986, ketika saya mendapatkan beasiswa OFP untuk kuliah di Inggris, ada satu pertanyaan menggelitik terlintas di pikiran. Pertanyaan itu menyangkut jurusan ilmu yang diperbolehkan untuk diambil hanyalah berkutat pada teknik mesin, teknik elektro, informatika, fisika, kimia, matematika, tetapi tidak tentang ilmu geologi atau teknik perminyakan. Mengapa intelektual NKRI hanya dituntut untuk membuat roket, pesawat terbang, satelit, tetapi tidak diminta untuk menggali dan mengeksplorasi kekayaan bumi Indonesia?
Sejalan dengan waktu, pertanyaan itu pun terjawab. NKRI adalah negara yang hidupnya didikte oleh negara-negara maju. Segala sesuatu di wilayah NKRI yang bernilai ekonomis tinggi seperti minyak bumi dan gas alam, harus diserahkan pada pengelolaan asing, dan NKRI hanya menjadi sapi perah saja dari kapitalisme internasional.
Dan untuk teknologi lain, negara-negara maju seperti AS segera menerapkan berbagai kebijakan untuk menahan kemajuan negara dunia ketiga. Kita susah mengembangkan teknologi pesawat terbang, karena selalu terbentur dengan sertifikasi FAA (Federal Aviation Administration). Hasilnya pesawat-pesawat AS dan negara maju saja yang mendapat legitimasi layak dan aman untuk diterbangkan. Sehingga kita sulit menjual produk pesawat buatan sendiri. Jangankan di manca negara, di negeri sendiri saja pesawat IPTN susah laku. Sebagian besar rakyat NKRI bepergian dengan pesawat produk asing, dan kembali lagi NKRI hanya menjadi sapi perah saja.
Sampai disini bisa dianalogikan bahwa NKRI hanyalah negara sapi perah dan AS adalah negara pemerah susu. Kita tinggal memilih mau ikut yang mana. Sebuah pilihan yang tidak sulit, bila dilakukan berdasar pada logika.

Alasan 11
Demi Anak Cucu… Now!
Saat berkunjung ke Irlandia, presiden John F Kennedy menyempatkan diri mampir ke suatu tempat dimana kakek buyutnya, Patrick Kennedy, pernah menapakkan kakinya menaiki kapal untuk pindah ke benua Amerika. Di tempat itu, presiden JFK berkata:
“bila kakek buyutku tidak meninggalkan tempat ini, boleh jadi aku
akan bekerja di perusahaan Albatross di seberang jalan itu.”
Seabad sebelumnya, Patrick Kennedy terpaksa meninggalkan kampung halamannya di Irlandia karena terjadi bencana kelaparan akibat kegagalan panen kentang. Keputusan untuk pindah ke Amerika Serikat bukanlah hal yang gampang, karena saat itu beremigrasi melintas samudera Atlantik merupakan hal yang mahal sekaligus berbahaya. Patrick harus menjual seluruh harta benda yang dimilikinya untuk biaya perjalanan ke AS. Berminggu-minggu di atas kapal layar yang penuh sesak bisa beresiko besar, penyakit begitu mudah menular di kapal yang pengap, apalagi ilmu kedokteran belum begitu maju. Tidak jarang, para penumpang mendarat tinggal namanya saja, karena jasadnya sudah dicemplungkan ke laut sewaktu meninggal di perjalanan. Dan bagi yang selamat, ketidakpastian membentang di hadapan mereka, mengingat AS saat itu masih belum tertata dengan baik. Jutaan orang datang ke negeri yang masih kosong, semrawut namun banyak kesempatan terbuka lebar.
Dan yang didapat Patrick ternyata jauh lebih besar dari yang diimpikannya. Ia bisa hidup makmur di Boston bersama istrinya, berputra, bercucu dan akhirnya cicitnya menjadi presiden AS yang ke-35. Keberanian Patrick untuk mengejar kesempatan di negara penuh impian seperti AS telah melapangkan jalan bagi cicitnya untuk menjadi orang paling berkuasa di dunia.
 Program menjadikan NKRI sebagai negara bagian AS itu sama saja dengan impian Patrick Kennedy ingin membuat masa depan yang cerah bagi anak cucu cicitnya. Hanya bedanya, kita tidak perlu melakukan hal yang berbahaya dan beresiko seperti Patrick. Kita tidak perlu menjual harta benda, kita tidak perlu menyeberang samudera dengan kapal layar yang pengap, kita tidak perlu meninggalkan kampung halaman dan sanak saudara, yang kita perlukan hanya sebuah dukungan untuk organisasi gAMERIKA dalam mewujudkan cita-cita menjadikan kita semua warga negara AS. Kita akan menjadi bagian dari negara maju dan sejahtera. Dan siapa tahu, anak, cucu atau cicit kita akan menjadi JFK masa depan! Apalagi untuk menjadi presiden AS secara rasional lebih mudah karena hanya memerlukan kecerdasan dan potensi pribadi, tidak seperti Indonesia dimana untuk menjadi presiden faktor kekayaan (karena biaya politik yang tinggi) dan faktor keturunan (karena budaya feodalisme) menjadi perhitungan. Lihat saja Barack Obama, yang orang tuanya bukan siapa-siapa, tapi ia bisa menjadi presiden AS.



[1] BKR: Badan Keamanan Rakyat (cikal bakal TKR).
[2] DIS (Daerah Istimewa Surakarta) akhirnya dihapus 16 Juni 1946, sebagai dampak dari kerusuhan anti swapraja dan anti monarki yang dipimpin oleh Tan Malaka dari partai Murba.






MOHON DIRENUNGKAN:
Apabila Arwah menjadi presiden 2014, maka banyak keuntungan akan didapat, salah satunya adalah UMR Rp. 16 juta/bulan dan PPK Rp. 36 juta/bulan. Plus, BONUSnya adalah Rp. 100 juta rupiah per orang (bagi seluruh rakyat Indonesia). Untuk merealisasikan cita-cita tersebut, hanya perlu 3 langkah sederhana, yaitu:
  1. Sebarkan link web "Arwah2014" ini ke berbagai milis, twitter, facebook, dan jejaring sosial lainnya. Juga tulis artikel tentang Arwah di koran, buku, majalah, dan media massa lainnya.
  2. Apabila ada survei tentang capres, sebutkan nama "Arwah"
  3. Dalam Pilpres 2014, coblos capres "Arwah"

Capres lain hanya mengajak anda menyanyikan lagu "Indonesia Raya",  
maka capres Arwah mengajak anda untuk "Bersama Kita Kaya Raya"

JANGAN SIA-SIAKAN HAK ANDA DI 2014 !!!


1 komentar:

  1. SAYA SANGAT BERSYUKUR ATAS REJEKI YANG DIBERIKAN KEPADA SAYA DAN INI TIDAK PERNAH TERBAYANKAN OLEH SAYA KALAU SAYA BISA SEPERTI INI,INI SEMUA BERKAT BANTUAN MBAH RAWA GUMPALA YANG TELAH MEMBANTU SAYA MELALUI NOMOR TOGEL DAN DANA GHAIB,KINI SAYA SUDAH BISA MELUNASI SEMUA HUTANG-HUTANG SAYA BAHKAN SAYA JUGA SUDAH BISA MEMBANGUN HOTEL BERBINTANG DI DAERAH SOLO DAN INI SEMUA ATAS BANTUAN MBAH RAWA GUMPALA,SAYA TIDAK AKAN PERNAH MELUPAKA JASA BELIAU DAN BAGI ANDA YANG INGIN DIBANTU OLEH RAWA GUMPALA MASALAH NOMOR ATAU DANA GHAIB SILAHKAN HUBUNGI SAJA BELIAU DI 085 316 106 111 SEKALI LAGI TERIMAKASIH YAA MBAH DAN PERLU ANDA KETAHUI KALAU MBAH RAWA GUMPALA HANYA MEMBANTU ORANG YANG BENAR-BANAR SERIUS,SAYA ATAS NAMA PAK JUNAIDI DARI SOLO DAN INI BENAR-BENAR KISAH NYATA DARI SAYA.BAGI YANG PUNYA RUM TERIMAKASIH ATAS TUMPANGANNYA.. DANA DANA GHAIB MBAH RAWA GUMPALA

    BalasHapus